Mabuk Ilmu
Mabuk Ilmu
Salim
Ahmad al-Bathathi
Penulis
pernah bertanya-tanya pada diri sendiri, apakah ilmu itu terpuji pada dirinya
sendiri atau pada aspek lain di luar dirinya? Hal pertama yang muncul di benak
penulis adalah ia tidak terpuji secara apriori. Alasannya, jika ilmu itu tidak
diikuti dengan realisasi amal, hal itu justru merupakan aib bagi pemiliknya.
Ilmu mulia secara bersyarat, berdasarkan manfaatnya dan realisasi amal.
Alasan lainnya, karena ilmu tertentu justru menyebabkan pemiliknya tercela,
semisal pemilik ilmu-ilmu yang diharamkan.
Namun kemudian, penulis mengevaluasi ulang alur berpikir penulis dalam menilai
kemuliaan sesuatu secara apriori. Jika mengikuti alur sebelumnya, maka tidak ada
satu perbuatan pun yang dapat dikatakan mulia secara apriori. Semisal shalat, ia
tidak dapat disebut sebagai perbuatan mulia secara apriori, karena pelaku shalat
yang belum mengikrarkan syahadatain, maka shalatnya tidak berarti. Amalan
salatnya pada hari kiamat hanya akan menjadi sebagai debu yang diterbangkan
angin. Ikrar syahadatain juga tidak dapat dikatakan terpuji secara apriori,
karena mereka yang berikrar tanpa melaksanakan shalat, ikrar syahadat tersebut
tidak akan memberinya manfaat –yakni dalam salah satu pendapat ulama yang lebih
masyhur. Demikianlah seterusnya sehingga setiap perbuatan senantiasa memiliki
dua sisi, terpuji di satu sisi dan tercela dari sisi lainnya. Sementara status
hukum sesuatu ditegakkan berdasarkan kondisi umum dan asalnya, sehingga perkara
yang janggal (syadz) tidak menjadi pertimbangan dalam menggugat hukum
umum.
Berangkat dari pendahukuan di atas, kita bisa melihat bahwa ilmu itu pada
dasarnya terpuji secara apriori. Dalil-dalil umum mendeskripsikan ilmu dalam
konteks pujian terhadapnya. Allah berfirman, “dan
katakanlah: ‘Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan.”
(QS. Thaha: 114); “Katakanlah:
‘Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak
mengetahui?”
(QS. al-Zumar: 9); “niscaya
Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang
diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat”
(QS. al-Mujadilah: 11).
Adapun dalil yang menunjukkan tercelanya ilmu, itu dikaitkan dengan penyebabnya.
Firman Allah, “Dan
bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan kepadanya
ayat-ayat Kami (pengetahuan tentang isi Alkitab), kemudian dia melepaskan diri
dari pada ayat-ayat itu, lalu dia diikuti oleh syaitan (sampai dia tergoda),
maka jadilah dia termasuk orang-orang yang sesat. Dan kalau Kami menghendaki,
sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia
cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka
perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan
jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya (juga). Demikian itulah
perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami.”
(QS. al-A’raf: 175-176).
Yakni saat mereka memperturutkan hawa nafsu dan meninggalkan realisasi amal dari
ilmu yang ia miliki, maka Allah memisahkannya dari status asal ilmu, yaitu
pujian bagi pemiliknya dengan mengganti ketinggian kedudukannya dengan
kecenderungan kapada dunia. Ungkapan terakhir (cenderung/ kekal/ ’khulud’)
ini lebih besar daripada sekadar tinggal sementara, karena kekal berarti tinggal
dalam jangka waktu yang panjang dan mungkin tanpa akhir. Kemudian para pelakunya
diserupakan dengan seburuk-buruk perumpamaan bagi manusia yaitu anjing, hewan
dengan suara yang paling jelek, yang jika liurnya menyentuh bejana maka hanya
bisa disucikan dengan pencucian air tujuh kali yang awalnya disertai dengan
tanah. Sebuah isyarat yang menunjukkan bahwa Allah telah mengubah keadaan,
lisan, dan ucapan mereka.
Sidang pembaca dapat memperhatikan bagaimana perubahan keadaan setelah
sebelumnya mereka dimintakan ampun dan dinaungi sayap-sayap oleh para Malaikat
langit, menjadi kekal di bumi. Perubahan suara dari sebelumnya mereka
mengulang-ulang membaca ayat-ayat Allah, menjadi menggonggong. Lisan dan
seruannya yang berubah menjadi najis berat. Kesemuanya setelah mereka
meninggalkan pelaksanaan amal dari ilmu yang mereka miliki dan memperturutkan
hawa nafsu. Sungguh terhina makhluk yang membangkang di sisi Allah. Alangkah
terhina pemilik ilmu yang membawanya namun meninggalkan kewajiban amalnya.
Demikianlah,
ilmu akan mengangkat derajat ahlinya, dan sebaliknya akan menghinakan mereka
yang berpaling darinya. Nabi sallallahu alaihi wasallam bersabda mengenai
ahli Al-Qur’an –yang merupakan ilmu yang paling mulia— “Sungguh Allah akan
mengangkat derajat sekelompok manusia karena Al-Qur’an ini dan akan menghinakan
sekelompok lainnya karenanya.”
Ahli
Al-Qur’an sejati adalah mereka yang mengamalkan dan mengambil manfaat dari
Al-Qur’an. Bukankah buah dari ilmu adalah amal? Buat apa kita berupaya keras
dalam mengejar ilmu jika ilmu yang kita tuntut tidak dapat mengubah perilaku
kita? Jika kedudukan seseorang dalam ilmu hanya diukur berdasarkan pertambahan
dan akumulasi ilmunya, maka perangkat mobile (HP) memiliki kapasitas yang lebih
besar dari kemampuan manusia. Lalu apa yang membedakan kita dengannya selain
dari segi memanfaatkan dan mengamalkan apa yang kita ketahui?
Setiap
tambahan pengetahuan atas ilmu kita yang sedikit, namun tidak berdampak
terhadap hidup dan perilaku kita, sesungguhnya hanya sebentuk penyia-nyiaan
waktu danpemborosan usia; bahkan jadi semacam bencana bagi pelakunya. Dan ketika
Allah memerintahkan kita untuk memohon tambahan ilmu kepada-Nya, itu karena ilmu
tersebut akan membuahkan amal perbuatan. Karena itu, permohonan tambahan ilmu
kepada Allah juga berkonsekuensi permohonan akan tambahan amal. Allah berfirman,
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara
hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama” (QS. Fathir: 28).
Sikap
berpaling dari mengamalkan ilmu paling membahayakan bagi ilmu ilmu itu sendiri,
dan membuat orang-orang lari dari menuntut ilmu. Ilmu adalah pakaian yang paling
indah andai pemiliknya tidak menggunakannya sebagai sarana untuk menyombongkan
diri di tengah-tengah masyarakat, tidak memanfaatkan ilmunya dalam hidup dan
perilakunya, akhlak serta pergaulannya, juga tidak mengajarkannya kepada orang
lain. Karena sebab-sebab ini, tertanam di dalam benak orang-orang umumnya bahwa
ilmu itu menyebabkan sikap sedemikian itu. Padahal, ahli ilmu seharusnya menjadi
orang yang paling mulia akhlaknya, paling santun dalam pergaulan, serta paling
baik dalam bertutur. Dan hendaknya hubungan antara ilmu dan perilaku tersebut
adalah hubungan yang berurutan, bertambah dengan bertambahnya ilmu dan berkurang
dengan berkurangnya ilmu.
Bukankah Nabi
sallallahu alaihi wasallam telah bersabda, “Aku hanya diutus untuk
menyempurnakan akhlak yang mulia.” Ungkapan Nabi bukan hanya beliau
ulang-ulang di mimbar, namun ucapan yang beliau buktikan dalam diri pribadi
beliau yang mulia, disaksikan oleh setiap kalangan, anak-anak, dewasa, fakir,
kaya, pria maupun wanita.
Sebenarnya masyarakat ingin melihat ilmu Anda -sidang Pembaca- dalam perilaku
dan akhlak, bukan di lisan dan kepala Anda. Sungguh disayangkan bila orang-orang
melihat mereka yang berbicara mengenai akhlak Nabi shallallahu alaihi
wasallam, mengenai ganjaran senyum kepada saudara Muslim, bahkan mungkin
kalangan ini dapat menyebutkan jalur-jalur rawi hadits tsb serta ucapan ulama
tentangnya; namun saat bertemu dengan orang-orang mereka menampakkan wajah
bersungut serta akhlak yang keras lagi kasar. Atau seorang yang mungkin sangat
bergairah pada ilmu, sangat cinta dan bergantung kepadanya, namun ilmunya hilang
dalam dunia amal, hilang satu jenis ibadah dari ibadah lainnya.
Tidak diragukan bahwa ilmu memiliki kenikmatan yang barangsiapa telah
merasakannya, sulit baginya untuk meninggalkan atau menyibukkan diri dengan
selainnya. Sampai-sampai dia tidak melihat kelezatan dari apa pun selain ilmu,
hilang darinya kelezatan duniawi. Sebagaimana hilangnya cahaya bintang dan
planet saat terbitnya cahaya matahari. Rasa asyik ini bahkan terkadang membuat
pelajar menjadi mabuk ilmu, mabuk hingga melupakan selain ilmu, hingga pada
ibadah sekalipun, hingga sebagian rela meninggalkan beberapa kewajiban. Seperti
mereka yang meninggalkan pemenuhan kebutuhan orangtuanya karena sibuk membaca!
Ia hilang dari buah ilmu yang tanpanya, ilmu justru menjadi tercela pada
pemiliknya. Jadilah, orang yang beramal namun jahil lebih baik darinya.
Inilah jenis keasyikan yang luput oleh pemiliknya. Di mana pula ada orang mabuk
yang dapat menyadari mabuknya? Lalu bagaimana jika mereka yang mabuk ini
meyakininya sebagai mabuk ibadah dan pendekatan diri kepada-Nya? Meski
sesungguhnya itu benar, namun saat ilmu hanya bersendiri dan terpisah dari amal,
ilmu menjadi bencana bagi pemiliknya. Kedudukan ilmu hanyalah dituntut karena
berdampak pada amal dan rasa takut. Amallah yang memberi status mulia pada ilmu.
Kata Allah, “Katakanlah:
‘Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak
mengetahui?”
(QS. al-Zumar: 9).
Kedua golongan tersebut di ayat tidak sama kedudukannya di sisi Allah, tidak
juga sama di sisi manusia dari segi amal, akhlak, serta status. Adapun jika ilmu
tidak membersihkan jiwa dan akhlak pemiliknya; sementara si jahil tampak lebih
baik di kalangan manusia, lebih bermanfaat dan lebih baik perilakunya, maka ilmu
menjadi hujjah atasnya di sisi Allah kemudian makhluk-Nya. Andaikan saja dia
menjadi jahil saja, karena saat itu ia sungguh telah membahayakan dirinya dan
citra ilmu di kalangan masyarakat.
Sebagai
tambahan bahwa ilmu pada substansinya adalah bentuk ibadah dan pendekatan diri
kepada Allah, hendaklah ia diletakkan secara proporsional dalam hierarki
pembebanan syariat. Ibadah anjuran atau mustahab tidak didahulukan atas yang
wajib. Tidak juga perkara wajib atas sesuatu yang lebih wajib. Jika saja para
ulama telah berbeda pandangan mengenai kasus seorang ibu yang memanggil anaknya
yang sedang shalat –yang merupakan ibadah teragung dan terbesar setelah
syahadatain— apakah ia mesti menghentikan shalatnya demi menjawab panggilan
ibunya; lalu bagaimana pula dengan hokum ibadah wajib lain yang lebih rendah?
Sebagian
kalangan mungkin membatasi dirinya hanya dengan mengamalkan ibadah-ibadah
lahiriyah, berupa shalat, puasa, infak, dzikir. Dia mengira bahwa dirinya telah
merealisasikan tuntutan beramal. Ibadah-ibadah tersebut tentu saja merpakan
ibadah yang agung. Namun, sebaliknya dia kehilangan akhlak yang baik, pergaulan
yang luwes, sopan santun, yang juga merupakan jenis ibadah wajib bagi seorang
Muslim, terutama kalangan ulama yang paham dalil-dalil dan keutamaannya.
Fenomena ini
mungkin lahir sebagai dampak dari pembagian sebagian ulama, terutama kalangan
ahli fiqh, yang membagi amal perbuatan menjadi jenis ibadah dan jenis muamalah.
Yaitu dengan mengelompokkan ibadah sebatas hubungan langsung antara hamba dengan
Rabbnya, seperti shalat, puasa, haji dan semacamnya. Sementara muamalat adalah
hubungan antara sesama manusia. Padahal, muamalat termasuk bentuk ibadah yang
tidak terpisah dari pengabdian kepada-Nya. Karena itu, seorang hamba senantiasa
berada dalam lingkup ibadah sepanjang dia bergaul dengan sesamanya dengan cara
sebagaimana yang Allah tetapkan.
Sangat
disayangkan jika seorang alim tampak kering dan keras di kalangan orang-orang,
padahal dia membaca firman Allah yang ditujukan kepada RasulNya beserta umat
seluruhnya: “Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati
kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu” (QS. Ali
Imran: 159). Lalu, kalangan ini menolak orang yang bertanya, menghardik mereka
yang datang kepadanya dengan pelbagai keperluan mereka. Dia tidak meluangkan
waktunya sedikit pun karena asyiknya dengan ilmu. Dia beribadah kepada Allah di
atas hamparan-hamparan sejadah, namun bermaksiat kepada-Nya di pasar-pasar di
antara manusia.
Sungguh agung
perilakumu wahai Rasulullah, demi ayah dan ibuku, budak wanita kecil
mendatangimu padahal engkau adalah utusan Allah, di pundakmu negeri terluas, di
bawah putusan hukummu negara Islam; namun budak kecil ini menggandeng tanganmu
dan berjalan bersamamu hingga engkau memenuhi keperluannya.
Setiap kali
orang berbicara tentang hubungan antara ilmu dan amal, terkenang bagi penulis
gambaran Syaikh penulis, Imam Alamah Abdullah ibn Jibrin –semoga Allah merahmati
dan menempatkannya di kebun surga yang luas. Sungguh penulis belum pernah
menjumpai orang lain yang dapat menandinginya dalam hal ilmu, amal, dan ibadah.
Di tengah kecintaan dan gairahnya yang mendalam terhadap ilmu, dia meluangkan
waktunya khusus setelah Ashar bagi masyarakat umum. Dia memenuhi keperluan
mereka serta mendengarkan dan menjawab persoalan-persoalan mereka.
Pernah sekali
waktu, saat penulis masih duduk di bangku sekolah menengah, penulis mendatangi
lalu duduk di sampingnya. Dia kemudian meraih tangan penulis kemudian berbincang
dan menanyai penulis laiknya seorang ayah kepada anaknya. Kemudia penulis
bertanya sendiri dalam hati kenapa dia mau meluangkan waktunya untuk
orang-orang, berbincang dan duduk bersama mereka dan memenuhi keperluan mereka
semampunya. Dan itu dia lakukan dengan penuh suka cita tanpa terlihat bosan atau
marah. Sementara dia bisa saja memanfaatkan waktu tersebut untuk diri pribadinya
atau dengan membaca. Karena orang-orang yang sibuk dengan ilmu biasanya sulit
melepaskan diri dari aktivitas ilmiah meski sejenak.
Setelah itu
aku paham bahwa dia bukan sekadar seorang ulama yang mengumpulkan pengetahuan
demi memenuhi hasrat dan mengisi kepalanya. Tapi dia adalah seorang alim, amil
dan ahli ibadah. Dia senantiasa mempatrikan dalam dirinya bahwa Allah
menciptakan kita untuk satu tujuan. Firman Allah, “Dan aku
tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku”
(QS. al-Dzariyat: 56).
Tujuan utama
penciptaan kita bukanlah semata ilmu, atau memperlakukan manusia dengan baik,
atau semata shalat. Tujuannya adalah ibadah. Sebuah kata yang mencakup semua
jenis ibadah. Karena itu, dalam bentuk apa pun, ia dituntut sepanjang ia adalah
ibadah dan bentuk pendekatan diri kepada Allah. Baik itu berupa pemenuhan
terhadap keperluan orang lain, tersenyum kepada sesama, mendengarkan keluhan
orang lain, atau belajar.
Demikianlah
yang penulis kira mengenai guru penulis itu. Dan tidaklah penulis bermaksud
mensucikan seseorang di hadapan Allah (yang lebih tahu keadaan sebenarnya).
Karenanya, Allah memberkati ilmu dan kekuatan hapalannya. Dia dikaruniai ilmu
dan kekuatan menghapal yang diakui oleh orang-orang. Sebagaimana harta yang
diberkati akan berkembang, demikian juga dengan ilmu yang diberkati. Berkat ilmu
diraih dengan mengamalkannya. Allah berfirman, “Dan
bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu” (QS. al-Baqarah: 282).
Alangkah indah ungkapan Imam Abu Hanifah, “Fiqh akbar (aqidah keimanan) dalam
agama lebih baik daripada fiqh dalam ilmu. Seseorang yang memahami bagaimana
seharusnya dia menyembah Rabbnya lebih baik daripada orang yang sekadar
mengumpulkan ilmu yang banyak.”